Wednesday, June 2, 2010

BBM Boros, Salah Siapa?

BBM Boros, Salah Siapa?

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca berita di sebuah media yang menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah di pasaran internasinal, pemerintah makin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi dalam negeri. Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara eksportir minyak, ternyata juga melakukan impor minyak yang ironisnya lebih besar daripada ekspor.
Berbagai solusi coba disodorkan dalam rapat bersama anggota dewan yang terhormat, dan solusi yang paling banyak mengemuka adalah pemotongan subsidi BBM, hingga penghapusan sama sekali BBM subsidi untuk golongan kendaraan tertentu.
Yang cukup mengejutkan bagi saya, muncul wacana untuk memotong, bahkan mungkin menghapuskan subsidi BBM bagi sepeda motor. Sepeda motor dituding sebagai kendaraan yang jumlahnya sangat banyak, hingga menurut mereka sangat boros BBM.
Apa dosa pengguna sepeda motor hingga subsidi bagi mereka harus dicabut?
Pemerintah sepertinya lupa satu hal, bahwa masyarakat menggunakan sepeda motor karena mereka tidak mampu membeli mobil, yang berarti mereka bukan termasuk golongan menengah ke atas, yang berarti mereka adalah mayoritas penduduk Indonesia. Jika kita tanya pada mereka, kenapa menggunakan sepeda motor? Jawabannya hampir pasti, yaitu belum bisa punya mobil, dan lebih hemat menggunakan sepeda motor daripada angkutan umum.
Sekarang, untuk mendapatkan sepeda motor sangat gampang, cukup membayar DP 200ribuan dan kredit yang bisa mencapai bertahun-tahun untuk menekan pembayaran bulanan, sebuah sepeda motor sudah bisa dibawa pulang. Bagi sebagian masyarakat, meski secara nominal lebih tinggi, tapi secara fungsional cara ini lebih murah daripada harus mengeluarkan sekian rupiah setiap hari untuk membayar angkutan umum. Karena dengan memiliki kendaraan pribadi, otomatis mereka tidak tergantung pada angkutan umum yang terikat trayek dan jam operasional. Hingga ketika ada keperluan mendadak di waktu yang tidak tepat, seperti anggota keluarga sakit pada tengah malam, mereka dapat lebih cepat bertindak.
Cuma sayangnya, mudahnya memperoleh sepeda motor ini mengakibatkan jumlah sepeda motor semakin lama semakin banyak di jalanan. Bahkan di kota tempat tinggal saya, ada sebuah anekdot yang sepertinya memang terjadi, bahwa satu anak satu sepeda motor. Setiap seorang anak masuk SMU, maka saat itu dia dihadiahi sepeda motor. Kondisi ini makin diperparah dengan pihak kepolisian yang seolah acuh dengan masalah ini. Mereka membiarkan anak sekolah yang sudah pasti belum punya SIM untuk berkeliaran di jalan raya. Coba lihat sore hari, ambil contoh di Bangkinang, anak-anak SMA, bahkan SMP berkeliaran di jalan raya, sebagian besar (jika tidak seluruhnya) tidak menggunakan helm menyusuri jalan A Yani hingga Subrantas. Coba tanya mereka, berapa orang sih yang punya sim? Berapa orang yang memang benar-benar sudah cukup umur dan layak untuk membawa kendaraan.
Orang tua tidak dapat sepenuhnya disalahkan, mereka tentu berpikir, untuk apa membiarkan anaknya susah-susah naik angkot jika anak orang lain bisa santai membawa kendaraan pribadi ke sekolah? Hal ini diperparah sikap kepolisian yang (seolah) permisif dengan hal ini.
Dari cerita di atas, kalaupun pengguna sepeda motor memang menjadi pengguna terbesar BBM subsidi, solusi yang tepat bukanlah sertamerta memotong subsidi untuk mereka. Jika sepeda motor tidak lagi di subisidi sedangkan kendaraan lain, katakanlah angkutan umum masih di subsidi, maka ini hanya akan memperparah praktik isi-sedot bensin yang selama ini sudah cukup banyak terjadi. Jika sekarang praktik ini rata-rata dilakukan penjual bensin eceran yang tidak mau memberi bayaran tambahan jika mengisi menggunakan jirigen, maka bukan tidak mungkin hal ini akan dilakukan oleh pemilik angkot untuk menyuplai minyak bersubsidi kepada penjual bensin eceran tersebut.
Oleh karena itu, menurut saya,langkah terbaik yang dapat di ambil pemerintah jika memang ingin mengurangi penggunaan BBM bersubsidi, pemotongan subsidi bukan cara yang tepat. Harus di lihat dulu akar permasalahannya. Oke lah, sepeda motor melimpah, tapi apa sebabnya? Menurut saya, bukan jumlah yang jadi masalah, tapi sistem yang sedang berjalan di masyarakat kita. Sistem untuk memperoleh kendaraan bermotor, terutama sepeda motor yang sangat mudah dan murah, sistem yang seolah membiarkan anak dibawah umur menggunakannya, dan sistem transportasi massa yang tidak nyaman bagi masyarakat.
Untuk sistem cara memperoleh, pemerintah bisa saja menerapkan peraturan untuk menentukan berapa paling banyak kendaraan yang boleh dimiliki suatu keluarga, kapan seseorang layak untuk memiliki kendaraan bermotor, dan lain lain. Hal ini kan bisa dilihat dari jumlah anggota keluarga, profesinya, dan penghasilannya. Anak sekolah sudah pasti belum layak memiliki kendaraan bermotor, selain karena umur belum layak, secara kebutuhan mereka juga belum terlalu membutuhkan kendaraan bermotor.
Untuk sistem  yang seolah membiarkan anak bawah umur boleh membawa sepeda motor, ini memerlukan itikad baik dari pihak kepolisian untuk menegakkan peraturannya sendiri. Razia tiap pagi, siang dan sore mungkin pilihan yang paling mudah (walaupun sulit bagi petugas dilapangan) untuk di ambil. Terutama razia anak sekolah, apakah pantas anak SMP membawa sepeda motor? Tidak cukup itu saja, pihak kepolisian, terutama lalu lintas harus konsisten dengan peraturannya. Jangan karena dia anak si ini atau teman si itu lantas melepaskan orang yang sudah terjaring razia. Karena ini hanya akan memberi pendidikan yang tidak baik bagi masyarakat.
Untuk sistem transportasi massa, pemerintah harus mulai memikirkan transportasi massa yang cepat dan efisien. Bisa mengangkut banyak orang sekaligus, sekaligus nyaman. Tidak lagi mengandalkan angkutan yang hanya bisa mengangkut beberapa orang sekali jalan seperti bajaj atau becak. Pemerintah bisa belajar dari negara-negara maju masalah moda transportasi massa ini. Banyak kok negara-negara maju eropa yang cukup sukses mengatur transportasi massa. Sistem bus seperti di jepang yang memiliki trayek dan waktu kedatangan yang pasti lebih layak untuk dicontoh daripada sistem busway yang seolah separuh hati, di satu sisi niatnya untuk mengurangi macet, tapi dengan mengambil sebagian badan jalan untuk menjadi jalur ekslusif busway itu justru menambah masalah baru.
Kemudian untuk anak sekolah, mungkin sudah waktunya pemerintah mulai mempertimbangkan sistem bus sekolah dan melarang membawa kendaraan pribadi ke sekolah hingga tingkat SMU. Selain memberi pendidikan dan pengalaman sejak dini tentang penggunaan kendaraan umum, juga dapat melatih siswa untuk disiplin waktu.
Saya yakin, masih banyak sebenarnya cara lain untuk menghemat BBM, tapi saya yakin, jika cara-cara di atas benar-benar diterapkan oleh pemerintah, mungkin pada awalnya akan terasa berat. Bagaimanapun, mengubah kebiasaan adalah hal yang sangat sulit, tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sudah pasti akan terjadi penolakan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat maupun dari industri kendaraan bermotor. Tapi jika dibarengi dengan sosialisasi yang intensif dan persuasif, serta tentunya perbaikan transportasi massa, pasti masyarakat lambat laun akan memahami, menerima dan akhirnya bisa menikmatinya.

No comments:

Post a Comment