Malam ini kembali aku berbaring sendiri di kamar. Sama seperti malam kemarin dan malam-malam sebelumnya. Sepi… Dingin…
Sayup terdengar suara wanita bercengkrama dengan anaknya, bersenandung lagu nina bobo. Tapi suara sayup itu tidak juga dapat mengantarku mengarungi lautan malam menuju pulau mimpi.
Justru disaat seperti ini lebih sering ku terkenang dengan masa laluku, masa kanak-kanak yang penuh warna, masa-masa kuliah dengan segala problema dan ceritanya, masa merintis karir dari hanya suruhan bos menjadi orang kepercayaan bos di sebuah pulau yang jauh dari pulau tempat ku dilahirkan, hingga masa ketika ku berkenalan dengan cinta pertamaku…
Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara, satu-satunya perempuan, perempuan yang luar biasa. Mandiri, tangguh dan tidak cengeng adalah kesan yang kudapat di awal perkenalan kami. Dua tahun dibawahku tapi pemikiran dan tingkah lakunya sama sekali tidak mencerminkan kalau dia lebih muda dariku. Lugas, tanggap, tegas dan berwawasan luas, itulah kesanku ketika semakin mengenal dirinya. Meski sisi feminimnya tak dapat dia sembunyikan, terkadang manja dan mendahulukan emosi. Tapi justru disitulah daya tariknya.
Kami bertemu di kampus, tak berapa lama setelah penerimaan mahasiswa baru. Di kampus kami waktu itu sudah mengganti kegiatan ospek dengan pengenalan kampus biasa. Tak ada lagi perpeloncoan, tak ada lagi pembodohan, yang ada hanya forum ilmu dan diskusi dan ditutup dengan malam seni keakraban. Aku sendiri tidak pernah tertarik mengikuti acara-acara itu. Aku memilih sibuk dalam kegiatan perkuliahan dan menjadi asisten laboratorium. Laboratorium dasar yang pasti dimasuki oleh mahasiswa tahun pertama.
Kami satu fakultas, beda jurusan. Meski beda jurusan ada beberapa mata kuliah yang sama, karena bagaimanapun tiap jurusan di fakultas kami saling terkait, saling mendukung dan melengkapi. Dan selain asisten laboratorium, akupun dipercaya oleh seorang dosen untuk membantunya mengajar di sebuah matakuliah dasar kepada mahasiswa tahun pertama. Cukuplah bercerita tentang kampus, intinya kami bertemu saat mahasiswa tahun pertama menjalani pengenalan labor bersama kakak pembimbingnya.
Tak mudah ku meluluhkan hatinya nan teguh, tak semudah dia melelehkan hatiku yang telah beku demikian lama. Beku dan tertutup debu perpustakaan. Berbagai perjuangan ku lakukan. Berkirim hadiah kecil, karena kantongku tak cukup tebal untuk mengirimkan hadiah mahal. Menyelipkan kata-kata sederhana, karena otak kaku-ku tidak cukup cair untuk menuliskan pujian puitis penuh bunga. Mengawasinya pulang kuliah hingga dia masuk ke kosnya dengan selamat dari jauh, karena aku tidak cukup berani mengajaknya pulang bersama. Toh aku hanya bisa menemaninya naik angkot, aku tak punya kendaraan pribadi seperti kebanyakan mahasiswa di fakultasku maupun jurusannya.
Hingga akhirnya setelah sepuluh bulan pembulatan tekad, dan dua malam sesi konsultasi dengan karib ku yang kuliah jurusan pertanian, akupun memberanikan diri mengajaknya makan siang bersama. Cukup di sebuah warung tenda pinggir kampus. Murah meriah memang, dan jauh dari kesan romantisnya kencan pertama. Tapi sangat berkesan karena itulah pertama kali aku makan berdua berhadapan dengan orang selain ibuku.
Dari pertemuan ke pertemuan, kami semakin merasakan banyak kecocokan, dan akhirnya memutuskan untuk meneruskan hubungan persahabatan menjadi hubungan perkekasihan. Dan aku yang selama ini dikenal sebagai seorang kutu buku yang dingin kepada wanita pun melepas status tak laku yang selama ini kusandang dengan bangga dan penuh kehormatan.
Waktu terus bergerak. Seiring perjalan cinta kami yang tak selalu mulus tetapi penuh warna, akhirnya aku menyelesaikan perkuliahan dengan nilai sangat memuaskan. Aku diterima mekerja di sebuah perusahaan pemodal asing. Di tahun keduaku, aku diminta membantu pembukaan cabang baru di pulau jauh, yang memaksaku berpisah fisik dari sang cinta pertamaku yang masih melanjutkan perkuliahannya. Walau berat, tapi akhirnya aku menyetujui permintaan kantor dan akhirnya berangkat ke pulau jauh dengan diiringi tetesan airmata cinta pertamaku.
Hingga akhirnya kantor cabang yang kupegang bisa berdiri dengan mapan aku masih belum dapat pulang karena merasa tak dapat meninggalkan cabang yang telah kubesarkan dari awal. Aku merasakan keterikatan batin yang aneh, seperti ayah yang enggan meninggalkan anaknya yang baru pandai berjalan.
Ah… keasikan melamun tak terasa sudah sangat larut larut. Waktunya ku mengendarai guling ini menyeberangi malam. Berlayar menuju pulau mimpi seorang diri. Lagipula esok aku masih harus menemui anak-anakku di kantor. Mereka masih memerlukan bimbinganku hingga bisa berlari sendiri meski tanpa bimbinganku.
Lantunan nina bobo yang tadi sayup sekarang sudah tidak terdengar. Mungkin cinta pertamaku sudah terlelap dikamar jagoan kecil kami. Dia berkeras menidurkan jagoan kecil kami di kamar yang terpisah. Katanya agar dia terbiasa tidur sendiri, juga supaya tangisannya tidak menggangu istirahat malamku. Meskipun jadinya aku yang ditinggal sendiri, dan tetap saja tangisan jagoan kecilku yang lantang terkadang membangunkanku di pagi buta. Seperti malam ini, malam kemarin, dan malam-malam sebelumnya.
Bangkinang, 0912090136
No comments:
Post a Comment